Kak Veda, Srikandi Tangguh Pelindung Korban Kekerasan Seksual
Kalau boleh kembali ke beberapa tahun ke belakang, tak bisa dipungkiri pandemi memaksa banyak orang untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Banyak kegiatan terpaksa dilakukan secara daring mulai dari belajar, bekerja hingga berkomunikasi dan berjejaring secara online alias menghabiskan waktu di dunia maya. Mirisnya timbul dampak negatif yang diam-diam meningkat tajam. Fenomena kekerasan seksual justru terjadi di hampir seluruh pelosok penjuru negeri. Bentuk kekerasan yang marak terjadi adalah kekerasan gender berbasis online. Kekerasan yang merupakan serangan terhadap tubuh, seksualitas, dan identitas gender seseorang yang difasilitasi dengan teknologi digital.
Penelitian terakhir juga menyebutkan bahwa sebagian besar korban berasal dari generasi muda. Dari aspek gender, mereka yang rentan menjadi korban adalah perempuan, yaitu 71%. Sementara itu menurut data Komnas Perempuan, pada 2020 angka kekerasan berbasis gender siber mengalami kenaikan pesat, hampir 400 persen. Data SIMFONI PPA pada Januari-2 Desember 2021 menunjukkan, kasus KDRT mendominasi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yakni 74 persen dari total 8.803 kasus. Dari sumber data tersebut juga diungkapkan bahwa, selama pandemi pada 2021 terdapat 12.559 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan seksual menjadi kasus kekerasan terhadap anak yang paling banyak dilaporkan, yakni 60 persen dari total kasus.
Sayangnya hingga detik ini di negara kita belum memiliki regulasi yang jelas tentang kekerasan berbasis gender online. Penanganan kasus kekerasan berbasis gender online di Indonesia masih sangat terbatas karena belum ada payung hukum yang jelas. Kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus ini pun terbilang masih lemah. Sehingga tak jarang banyak korban justru malah berbalik dikriminalisasi karena melapor atau melakukan aduan di kepolisian.
Kebanyakan tindak kekerasan seksual yang terjadi pada individu tersebut tidak hanya berdampak bagi fisik, psikis (mental), dan bahkan berdampak pada psikososial seseorang. Secara fisik, seperti kita ketahui banyak korban yang mendapatkan luka, penyakit menular seksual, atau amit-amit bahkan akhirnya sampai meregang nyawa. Dari segi psikis, peristiwa yang membekas (traumatis) bisa saja telah terjadi secara berulang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), menyakiti diri sendiri (self-harm), atau pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidup (bunuh diri).
Semakin berat yang dihadapi korban karena seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi, dengan adanya stigma dan penolakan dari dan atau masyarakat. Padahal, semestinya orang-orang yang ada di sekitar korban harus turut serta mendukung untuk masa pemulihan baik itu dalam mencari bantuan kesehatan fisik dan mental, mengurangi stigma sosial, maupun dalam menempuh jalur hukum. Kekerasan seksual sendiri bisa terjadi kepada siapapun, tidak terkecuali laki-laki atau kelompok minoritas seksual. Meskipun saat ini kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi, fenomena ini menjadi salah satu alasan seorang Srikandi dari Depok, Jawa Barat. Sebut saja ia, Justitia Avila Veda atau akrab disapa kak Veda yang menginisiasi untuk membuat sebuah gerakan untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual.
Kak Veda sendiri pernah mengalami kekerasan seksual atau menjadi penyintas. Berangkat pada keresahan dan latar belakangnya sebagai advokat, tercetuslah ide untuk membentuk program yang mewadahi para korban agar lebih mudah dalam menerima bantuan. Siapa sangka lewat inisiatifnya, berawal dari cuitan Twitter (baca: sekarang X) yang kak Veda sebarkan, kemudian banyak kuasa hukum yang tertarik untuk ikut bergabung menjalankan program sosial yang diinisiasi olehnya. Program sosial tersebut dikenal sebagai KAKG (Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender). KAKG sendiri merupakan kelompok yang memiliki fokus program “Pendampingan Korban Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi”.
Prosedur Mengakses Pendampingan Hukum KAKG
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau disebut KAKG merupakan jasa konsultasi dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang berbasis teknologi. Tak hanya program hukum, program ini juga menyediakan jejaring penyedia jasa pemulihan psikologis, medis, dan sosial yang dibutuhkan korban selama penyelesaian perkara. Program ini diinisiasi pada bulan Juni 2020 di tengah pandemi dan hingga kini sudah ada 150 kasus yang ditangani.
Pada mulanya kak Veda membuat cuitan di Twitter (kini X) yang kemudian justru menjadi viral. Saat itu, ia menawarkan jasa konsultasi umum bagi orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual atau mengetahui orang-orang yang mengalami kasus tersebut. Tidak hanya dari kalangan korban saja yang menghubungi Veda, karena banyak pengacara hingga jaksa yang menghubunginya dan tertarik ingin membantu.
KAKG membuka konsultasi hukum untuk siapapun secara daring di seluruh Indonesia. Dari formulir online yang bisa diakses di akun Instagram @advokatgender, nantinya akan dilakukan penilaian apakah aduan tersebut membutuhkan pendampingan hukum secara langsung, litigasi dan non litigasi.
Jika korban ingin menempuh jalur hukum atau litigasi, biasanya pihak advokat juga akan menyediakan bantuan psikologi dan medis, mengingat proses penyidikan hingga pengadilan yang memakan waktu panjang dan akan berdampak pada psikis korban. Akan tetapi, tidak semua korban mau menyelesaikan ke proses litigasi dan lebih memilih jalur di luar pengadilan (non litigasi).
Ia pun menceritakan bahwa di 24 jam pertama ada sekitar 40 aduan yang masuk via surel, itu pun belum termasuk aduan yang masuk via DM Twitter. Karena semua serba belum rapi, masih sporadis, dan belum terstruktur, ia pun terpikirkan untuk menambah tenaga bantuan sukarelawan.
Pada 2—3 bulan pertama, ia merekrut sepuluh orang pengacara. Mengapa sebagian besar relawan berlatar belakang advokat? Pasalnya menurut undang-undang, profesi advokat memiliki tanggung jawab profesi dan salah satunya adalah probono yaitu pengabdian masyarakat. Bak sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, KAKG tak hanya memberi pendampingan bagi para korban kekerasan seksual, tapi juga menjadi wadah yang tepat bagi para pengacara untuk menyalurkan bantuannya.
Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan juga waktu, KAKG kemudian membuat kelompok penerima manfaat prioritas seperti korban anak, disabilitas, kelompok minoritas seksual dan konflik untuk proses litigasi. Sementara itu untuk korban yang lokasinya berada di luar kota, pihak KAKG akan berupaya mendampingi satu hingga dua kali dan berkoordinasi dengan mitra Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dari kota setempat.
Penghargaan SATU Indonesia Awards 2022
Upaya kak Veda dan lewat progran KAKG untuk membantu para korban kekerasan seksual membawanya pada penghargaan bergengsi Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 di bidang Kesehatan. Besar harapan beliau dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual dengan kehadiran program kolektif KAKG untuk membantu para penyintas atau korban. Selain itu, apresiasi dari PT Astra International Tbk. ini telah mendukung KAKG dalam hal finansial untuk berbagai proses litigasi yang diperjuangkan kolektif ini.
Seperti diketahui biaya litigasi sangat mahal. Dari penghargaan tersebut pihaknya mendapatkan dukungan finansial dari Astra yang sangat membantu beberapa biaya operasional kasus yang tertunda. Untuk selanjutnya, kak Veda berharap dari jejaring para penerima apresiasi, KAKG dapat menjalin lebih banyak kerjasama dengan mitra advokat dari setiap daerah. Dengan demikian, semakin banyak korban kekerasan seksual yang dapat dibantu secara maksimal.
Beberapa Hambatan yang dihadapi selama ini
Kasus per kasus tidaklah mudah. Namun, pada beberapa kasus yang dapat merugikan korban dan malah dapat menyerang korban balik sebagai pihak tersangka. Contohnya, kasus penyebaran konten pornografi yang diatur dalam UU ITE dan UU Pornografi. Banyak pihak yang menggunakan ‘pasal karet’ dalam UU ITE yang mencoba untuk membungkam korban kekerasan seksual.
Begitu juga dengan konten pornografi yang dibuat oleh korban yang pernah berpacaran dengan pelaku. Meski korban tidak mengizinkan video tersebut disebarluaskan oleh pelaku, dalam hal ini korban juga dapat menjadi tersangka yang membuat konten pornografi. Kasus seperti ini banyaknya kami tangani secara non litigasi.
Kendala lainnya adalah aparat penegak hukum yang kurang responsif (bertindak cepat). Akan tetapi, kak Veda juga tidak menyarankan memviralkan suatu kasus agar mendapatkan respon secara cepat. Menurutnya ini sangat mengecewakan dan menodai norma hukum di negara kita ketika aparat penegak hukum baru merespon saat mendapatkan perhatian publik saja. Dari sisi korban, ia juga tidak menyarankan hal ini untuk dilakukan mengingat korban kekerasan seksual pasti mengalami trauma dan belum tentu akan mendapatkan pembelaan dari warganet. Hal ini justru dapat membentuk situasi revictimisasi dan akan semakin membuat mental korban jatuh.
Ya, semoga saja secuplik kisah inspiratif kak Veda tadi bisa memberikan banyak pelajaran berharga untuk kita semua ya sobat?!