|
Temu Netizen dengan PT Semen Indonesia |
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6).
Sepenggal pengertian ayat di atas mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah.
Sama halnya seperti dalam menerima sebuah informasi, hendaknya masyarakat harus selalu ‘tabayun’. Segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.
Fakta Hiruk Pikuk Proyek SEMEN INDONESIA
Sudah sejak zaman orde lama pemerintahan era Presiden Soekarno Semen Gresik 7 Agustus 1957 diresmikan dengan kapasitas 250 ribu ton semen per tahunnya. Kenapa dibangun di Pulau Jawa? Tujuannya untuk mempertahankan pangsa pasar dalam negeri di tengah serbuan pemain global (perusahaan asing) dan swasta.
Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan dengan pemberitaan yang masih simpang siur sehubungan dengan pembangunan Pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah yang akan segera beroperasi. Isu kerusakan lingkungan terus membayangi kegiatan operasional perusahaan milik BUMN itu sejak dimulainya pembangunan pada tahun 2014.
Seperti yang dimuat oleh laman situs daring news.detik.com, DR Budi Sulistijo sebagai penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di pabrik PT Semen Indonesia Rembang mengungkapkan bahwa “Kegiatan penambangan di Rembang, khususnya di sekitar area tambang milik PT Semen Indonesia, itu sebenarnya sudah ada sejak dulu. Jadi, kalau ada yang bilang bahwa Semen Indonesia merusak lingkungan di sana, itu tidak benar karena mereka sama sekali belum melakukan kegiatan penambangan,” (14/3/2017).
Lalu, bagaimana PT Semen Indonesia menjawab kekhawatiran terkait isu kerusakan lingkungan tersebut?
Saya seperti ditampar dan mata saya seperti terbelalak setelah dibangungkan dari tidur yang panjang. Bagaimana tidak? Apa yang diberitakan selama ini terlanjur salah kaprah kemudian pemahaman saya langsung tergugah. Bertempat di Kembang Goela Resto pada Jum’at, 5 Mei 2017 diadakan diskusi interaktif antara netizen dengan PT Semen Indonesia bertajuk Rembang untuk Indonesia. Hadir sebagai narasumber beberapa praktisi ahli yang kompeten dibidang pertambangan, di antaranya Bapak Agung Winarko selaku Sekretaris PT Semen Indonesia (Persero) dan DR. Ir. Budi Sulistijo, M.T sebagai Pakar Geologi dan Ahli Pertambangan Institut Teknologi Bandung sekaligus Anggota Komisi Penilai AMDAL Pusat.
Proyek Pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah
|
Lokasi Pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jateng (dok. PT Semen Indonesia) |
DR Budi menjelaskan soal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Semua IUP harus sesuai dengan RTRW. Jika IUP tidak sesuai dengan RTRW, pasti AMDAL tidak akan dikeluarkan. “Oleh sebab itu, harus dilakukan pemetaan terlebih dulu, harus diketahui apakah di area itu ada sumber air di bawahnya, apakah ada gua yang menjadi habitat spesies hidup. Juga kita harus tahu persis batas horizontalnya,” tuturnya
Budi juga memaparkan soal desain penambangan yang dibuatnya untuk pabrik semen di Rembang. Di area seluas 530 hektare itu, dia membuat bozem (area sabuk pengaman) yang lebarnya 50 meter di empat sisi area yang bakal ditambang. Bozem kemudian ditanami tanaman keras. Tujuannya menjadi tanggul untuk menahan air saat hujan. Kemudian kedua, Budi menggunakan konsep air tidak boleh keluar dari area tambang. Tujuannya agar tidak ada kekhawatiran bahwa air akan keluar dari area yang ditambang. Kemudian menambangnya juga hanya di atas zona kering.
“Jadi, kalau ada ahli yang bilang bahwa setelah ditambang sampai 100 meter bakal ada sekian kubik air yang hilang, itu salah karena area yang bakal ditambang tidak ada air sama sekali,” paparnya.
Di area penambangan batu gamping, lanjut Budi, tidak ditemukan air meski dibor sampai kedalaman 116 meter. Desain tambang yang dia buat itu hanya boleh menambang di kedalaman 80 hingga 100 meter.
“Padahal lahan di area penambangan itu sampai kedalaman 150 meter masih kering,” ungkapnya.
Menurut Budi, penambangan di lahan yang dimiliki Semen Indonesia itu baru akan selesai setelah 78 tahun. Proses penambangannya dilakukan petak per petak. Dalam setahun, area yang ditambang luasnya 10-15 hektare, jadi tidak sekaligus.
“Kemudian petak yang telah ditambang tadi harus ditanami kembali. Begitu penambangan selesai dilakukan, area bekas tambang justru bisa berubah menjadi hutan yang lebih hijau dari sebelumnya, yang hanya ditumbuhi semak-belukar. Memang teknologi ini membutuhkan biaya tambahan. Tapi ya harus dilakukan karena kita semua berkomitmen menjaga lingkungan,” katanya.
“Nah, dengan konsep penambangan di mana semua air hujan dimasukkan ke dalam lahan tambang, air justru akan bertambah banyak pasca kegiatan penambangan.
Apakah ada buktinya?
Sudah ada buktinya di Tuban. Nah, Semen Indonesia sudah mempunyai desain penambangan bagus dan sesuai dengan amdal. Kalau mereka ternyata menyimpang, ya mari kita hajar sama-sama. Kan mereka juga harus menambang sesuai konsep dan dokumen amdal,” lanjutnya.
Mengapa masyarakat banyak yang salah memahaminya?
Menurut Budi, informasi yang beredar di masyarakat melalui media massa atau media sosial terdapat banyak kesalahan. Budi mencontohkan soal Permen ESDM Nomor 17/2012 yang mengatur soal Karst. Di situ disebut bahwa karst adalah bentang alam yang dibentuk akibat larutan pada batu gamping. Artinya, hampir semua batu gamping di Indonesia pasti karst.
“Tapi informasi yang sampai di masyarakat, karst adalah kawasan lindung. Dan itu diamini oleh para akademisi atau aktivis LSM. Bahkan beberapa bulan lalu, seorang kepala sebuah badan yang sangat dihormati mengatakan hal sama. Nah, ini kan justru merusak semua aturan perundangan kita. Padahal yang disebut kawasan lindung adalah kawasan bentang alam karst,” jelas ahli geologi ITB ini.
Budi mengatakan, di luar kawasan bentang alam karst boleh ditambang, seperti dalam aturan yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Tapi yang beredar di masyarakat, karst adalah kawasan lindung dan disebut sebagai kawasan resapan yang tidak boleh ditambang.
“Hal yang paling lucu jika melihat surat dari presiden, bahwa seolah-olah KBAK (kawasan bentang alam karst) sudah ditetapkan. Padahal istilah KBAK baru muncul tahun 2012. Ini yang menjadi sumber kekisruhan. Jadi ada surat dari LSM yang kemudian ditindaklanjuti Kantor Staf Presiden (KSP). Hal yang seharusnya tidak jadi masalah kemudian menjadi masalah yang lebih besar. Dan ujungnya, cost besar juga bagi perusahaan. Menjadi tidak menarik bagi sebuah perusahaan. Mereka bisa berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Apalagi ini adalah perusahaan semen yang hampir semuanya menggunakan tenaga kerja dari Indonesia,” ungkapnya.
Faktanya berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI nomer 2641 k/40/MEM/2014 tentang penetapan Kawasan Bentang Alam KARST Sukolilo (meliputi wilayah kabupaten Pati, Grobogan dan Blora) ternyata tidak termasuk kabupaten Rembang dalam KBAK yang dilindungi.
|
Kondisi Terkini Pabrik Semen Indonesia di Rembang (dok. PT Semen Indonesia)
|
Budi juga menyinggung informasi yang menyesatkan soal kawasan Kendeng atau Zona Kendeng. Padahal Zona Kendeng itu berada jauh di sebelah selatan area tambang milik PT Semen Indonesia. Tapi kenapa semua meyakini bahwa area tambang PT Semen Indonesia termasuk Zona Kendeng? Padahal area yang bakal ditambang itu berada di Zona Rembang, yang letaknya di sebelah utara Zona Kendeng.
Ternyata, menurut Budi, di ujung surat Presiden itu disebutkan bahwa pabrik semen dilarang menambang di Pegunungan Kendeng. Hal yang harus diketahui, Pegunungan Kendeng itu memanjang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Budi menegaskan, faktanya, Zona Rembang dan Zona Kendeng itu sangat jauh berbeda.
“Sempat juga ada guyonan yang terlontar, lokasi Semen Indonesia itu berada di Desa Gunem. Lha Gunem itu bahasa Jawa yang konotasinya negatif, yaitu gosip. Saya bilang ke Semen Indonesia, Anda salah pilih tempat karena memilih tempat yang namanya Gunem. Makanya apa pun yang mau dilakukan menjadi guneman atau menjadi gosip,” canda Budi seraya tertawa.
Informasi lain yang menurut Budi juga menyesatkan adalah disebutkan bahwa cekungan air tanah (CAT) adalah kawasan lindung yang tidak boleh ditambang. Jika kawasan CAT tidak boleh ditambang, Budi menilai seharusnya semua penambangan di negeri ini dihentikan dan seluruh program studi di beberapa perguruan tinggi dengan konsentrasi jurusan Pertambangan ditutup saja. “Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta harusnya juga dilarang karena berada di atas CAT Jakarta. Kan tidak boleh membuat terowongan untuk MRT. Anda harus tahu, semua wilayah di Jateng itu berada di atas CAT. Migas kita juga berada di atas CAT. Batu bara juga di atas CAT. Lha, kalau CAT dilarang ditambang, bagaimana nasib industri mineral kita?” tanyanya.
Budi juga menegaskan tidak ada gua dan mata air di lokasi yang bakal ditambang oleh Semen Indonesia sesuai IUP. Meski begitu, Budi mengakui di wilayah Gunem memang ada sekitar 200 mata air. “Sekitar dua tahun lalu ramai diberitakan soal Gua Wiyu. Gua itu dikabarkan besar, indah, dan berada di area tambang IUP Semen Indonesia. Padahal faktanya, Gua Wiyu itu terletak sekitar 2 kilometer dari area penambangan. Jadi pembelokan fakta terjadi begitu luar biasa. Saya tidak tahu apa motifnya.
Budi juga meluruskan informasi yang menyebutkan semua wilayah Gunem sesuai RTRW masuk kawasan lindung. Tapi, faktanya, tidak semua masuk kawasan lindung, hanya sebagian yang masuk kawasan lindung. “Jadi sebenarnya tidak ada masalah. Di dalam area pertambangan yang mendapat IUP tidak ada gua, tidak ada mata air, juga tidak ada kawasan resapan,” tegasnya.
Menurut Budi, desain penambangan seperti milik Semen Indonesia itu harusnya diterapkan di seluruh Indonesia. Tidak boleh air keluar dari lokasi tambang, supaya air lebih banyak. “Yang kedua, harus membuat bozem sebelum menambang. Kemudian melakukan reklamasi atau penanaman kembali area tambang secara progresif,” jelas Budi. Hal positif yang bisa dilihat di luar teknologi pertambangan, menurut Budi, adalah naiknya harga tanah di Rembang. “Lima tahun lalu, harga Rp 100 juta per hektare orang tidak mau beli. Sekarang sudah Rp 1 miliar. Dari sisi angka itu bisa dilihat apakah rugi atau untung,” pungkas Budi.